Rayakan HUT, SMI Gelar Festival Silat



Senin, 11 Agustus 2008
SUDIRMAN, METRO-- HUT Persatuan Pencak Silat (PPS) Satria Muda Indonesia (SMI) ke 20, akan dimeriahkan dengan Festival Pencak Silat Dang Tuanku I yang akan diselenggarakan tanggal 12 sampai 15 Agustus 2008 mendatang.
Festival itu sendiri akan dipusatkan di lapangan parkir samping Bioskop Eri dengan menghadirkan berbagai unsur masyarakat, termasuk Presiden Pencak Silat dari Negara Perancis Eric Chatellier dan pesilat dari negeri jiran Malaysia. “Kegiatan yang juga digelar dalam rangka Visit Indonesia Year 2008 dan menyongsong HUT Kemerdekaan RI ke 63 ini, rencananya akan dibuka oleh Pembina Utama PPS SMI Pusat Letjend (Purn) Prabowo Subianto. Sampai hari ini, tercatat sudah 39 tim yang sudah mendaftarkan keikutsertaannya. Mereka berasal dari seluruh kota/kabupaten di Sumbar ditambah utusan dari Riau, Jambi, Kerinci dan lain sebagainya,” terang ketua pelaksana Kapten Inf Syamsuwarno dalam keterangan pers di Kharisma Hotel, kemarin. Syamsuwarno menambahkan, persiapan pelaksanaan pada prinsipnya sudah maksimal. Sehingga diharapkan, setiap tim yang akan menurunkan 13 pendekarnya, akan puas dengan suguhan yang diberikan panitia.Selain itu, acara yang memakai motto silat yaitu “Lahir Silat Mencari Teman, Batin Silat Mencari Tuhan, Jaga Tali Jangan Putus, Jaga Rasa Jangan Hilang dengan tujuan “Mambukak-bukak Lipek Kain” itu, akan mengembalikan lagi pada generasi muda untuk tetap menyukai tradisi Silat Minangkabau yang banyak digunakan oleh pendahulu.Presiden Silat Negara Perancis yang juga Wakil Ketua umum Silat Eropa Eric Chatellier mengatakan, budaya silat serta sejumlah budaya nusantara lainnya, cukup bagus perkembangannya di Benua Eropa. “Sangat disayangkan kalau masyarakat di Indonesia mulai tidak menyukai tradisinya. Padahal di Eropa, budaya ini sedang bagus-bagusnya berkembang,” jelas Eric yang fasih berbahasa Indonesia ini. Sebagai bukti menjamurnya silat Indonesia di Eropa, Eric menggambarkan di Perancis saja saat ini terdapat 12 perguruan silat dengan jumlah anggota sekitar 800 orang. ”Keberadaan silat di Eropa perlu dipromosikan lebih besar lagi. Dengan promosi itu, tentu kami berharap perkembangan pencak silat di Benua Eropa akan semakin bagus dan berkembang,” ujarnya mengakhiri. (wan)

Kegiatan pelatihan


Hi pren , ini adalah foto-foto kegiatan pelatihan PPS.SMI yang di selenggarakan setiap hari minggu di gedung olah raga kecamatan kalideres.kegiatan pelatihan pada hari minggu adalah merupakan latihan gabungan dari beberapa unit atau cabang dari pps.smi yang tersebar di wilayah jakarta barat.

RADEN HAJI IBRAHIM DAN CIKALONG

Setelah menerima ilmu dari berapa orang guru, R.H. Ibrahim melakukan
perenungan selema tiga tahun dengan cara sering berkhalwat di sebuah
gua di Kampung Jelebud di pinggir sungai Cikundul Leutik, Cikalong
Kulon, Cianjur. Dari Sinilah mulai terbentuk cikal bakal aliran Cikalong.
Nama aliran Cikalong diberikan oleh para pengikutnya dengan mengambil
nama tempat tinggal R.H. Ibrahim atau tempat awal penyebaran aliran ini.
Silsilah Leluhur
RD. Haji Ibrahim
Kangjeng Dalem Rd. Wiratanudatar I
(Kanjeng Dalem Cikundul)
Kangjeng Dalem Rd. Wiratanudatar II
(Kanjeng Dalem Tarikolot)
Kangjeng Dalem Rd. Wiratanudatar III
(Kanjeng Dalem Dicondre)
Kangjeng Dalem Rd. Wiratanudatar IV
(Kanjeng Dalem Sabirudin)
Kangjeng Dalem Rd. Wiratanudatar V
(Kanjeng Dalem Muhyidin)
Kangjeng Dalem Rd. Wiratanudatar VI
(Kanjeng Dalem Dipati Enoh)
Rd. Wiranagara (Aria Cikalong)
Rd. Rajadireja (Aom Raja) Cikalong
Rd. Jayaperbata (Rd. Haji Ibrahim)






Telah disepakati oleh kalangan tokoh pencak silat bahwa pencipta dan penyebar pertama aliran pencak
silat Cikalong adalah R. Jayaperbata yang kemudian berganti nama menjadi R. Haji Ibrahim setelah beliau
berziarah ke Tanah Suci. R.H. Ibrahim adalah keturunan bangsawan Cianjur.
Sejarah terbentuknya aliran ini, menurut beberapa sumber dimulai ketika R.H. Ibrahim berguru kepada
kakak iparnya sendiri (suami Nyi Raden Hadijah, kakak R.H. Ibrahim) yaitu R. Ateng Alimuddin, seorang
saudagar kuda dari Jatinegara. Permainan pencak silat R. Ateng Alimudin sendiri adalah Cimande
Kampung Baru. Atas perunjuk R. Ateng Alimudin, R.H. Ibrahim kemudian disarankan untuk melanjutkan
pelajarannya pada Bang Ma’ruf, seorang guru pencak silat di Kampung Karet, Tanah Abang, Jakarta.
R.H. Ibrahim yang juga mempunyai usaha jual beli kuda kerap kali pulang pergi antara Cianjur dan
Jakarta. Sewaktu berada di Jakarta, dimanfaatkannya untuk belajar pencak silat dari Bang Ma’ruf. Ketika
sedang belajar di Bang Ma’ruf, secara tidak sengaja R.H. Ibrahim berkenalan dengan tetangga Ban Ma’ruf
yang bernama Bang Madi, seorang penjual kuda yang berasal dari Pagarruyung, Sumatra Barat. Setelah
berkenalan dan akhirnya bersambung tangan, akhirnya diketahui bahwa Bang Madi adalah seorang ahli
pencak silat yang sangat tangguh. Sejak saat itu, tanpa sepengetahuan Bang Ma’ruf, R.H. Ibrahim mulai
berguru kepada Bang Madi. Karena R.H. Ibrahim adalah seorang bangsawan yang cukup kaya, maka
agar lebih leluasa, Bang Madi langsung didatangkan ke Cianjur untuk mengajar di sana. Segala keperluan
hidup untuk keluarganya ditanggung oleh R.H. Ibrahim. Dari Bang Madi diperoleh ilmu permainan rasa,
yaitu sensitivitas atau kepekaan rasa yang positif sehingga pada tingkat tertentu akan mampu membaca
segala gerak lawan saat anggota badan bersentuhan dengan anggota badan lawan, serta segera
melumpukannya. Menerut beberapa tokoh, salah satu ciri atau kebiasaan dari Bang Madi adalah mahir
dalam melakukan teknik "bendung" atau menahan munculnya tenaga lawan, di samping "mendahului
tenaga dengan tenaga". Di kalangan aliran Cikalong teknik ini disebut "puhu tanaga" atau "puhu gerak".
Setelah dianggap mahir, atas petunjuk Bang Madi, R.H. Ibrahim disarankan untuk menemui seorang
tokoh dari Kampung Benteng, Tangerang yang bernama Bang Kari. Sebelum diterama menjadi murid,
R.H. Ibrahim sempat dicoba dahulu kemampuannya. Bang Kari pun kemudian mengetahui bahwa yang
datang kali ini adalah orang yang sangat berbakatdan mempunyai masa depan yang cemerlang di dunia
persilatan. Dari Bang Kari, R.H. Ibrahim mendapatkan (ulin peupeuhan) ilmu pukulan yang mengandalkan
kecepatan gerak dan tenaga ledak. Selain dari keempat tokoh pencak silat dia tas, R. H. Ibrahim banyak
berguru pada tokoh-tokoh lain. Ada yang mengatakan sampai tujuh belas orang guru, bahkan ada juga
yang mengatakan lebih dari empat puluh orang guru. Dari hasil berguru tersebut kemudian R.H. Ibrahim
melakukan perenungan selama tiga tahun dengan cara sering berkhalwat di sebuah gua di kampung
Jelebud, di pinggir sungai Cikundul Leutik, Cikalong Kulon, Cianjur. Dari Sinilah mulai terbentuk cikal bakal
aliran Cikalong. Nama aliran Cikalong diberikan oleh para pengikutnya dengan mengambil nama tempat
tinggal R.H. Ibrahim atau tempat mulaialiran pencak silat ini disebarkan.
Pada mulanya aliran ini melalui tahapan atau proses tertentu yang masih berubah-ubah dari waktu ke
waktu sebelum ditemukan bentuk yang baku. Di samping cara R.H. Ibrahim mengajar selalu disesuaikan
dengan keadaan badan, bakat, serta kesenangan murid. Maka tidaklah mengherankan apabila banyak
murid-murid R.H. Ibrahim yang mempunya permainan yang berbeda satu sama lain. R.H. Tamidi
misalnya, menyukai ameng peupeuhan atau permainan yang banyak mengandalkan pukulan; R. Obing
yang lebih senang menggunakan ulin rasa atau ulin tempelan yang mengandalkan kehalusan rasa; R.
Muhyidin lebih sering menggunakan usik puhu yang selalu mendahului gerak lawan. Sedangkan R. Idrus
lebih menyukai usik tungtung yang melakukan serangan balik ketika serangan lawan suda habis, dan
masih banyak lagi lainnya.Yang menarik adalah pada saat yang sama di Cianjur juga terdapat seorang
tokoh pencak silat bernama Muhammad Kosim asal Pagarruyung yang tinggal di Kampung Sabandar
Cianjur (lebih terkenal dengan panggilan Mama Sabandar). Ia mengajarkan ilmunya kepada beberapa
bangsawan Cianjur, yang juga merupakan murid R.H. Ibrahim, di antaranya adalah R.H. Enoh, sehingga
pada Perkembangan selanjutnya di Cianjur terdapat aliran Cikalong –Sabandar. R.H. Ibrahim sendiri tidak
pernah berguru kepada Mama Sabandar. Menurut beberapa sumber, mereka pernah bertemu dan
bertanding di Purwakarta dan hasilnya tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah, namun masing-
masing saling mengakui kehebatan lawannya.




R.H. Ibrahim meninggal pada tahun 1906 dan dimakamkan di
pemakaman keluarga Dalem Cikundul, Cikalong, Cianjur.
Salah satu ciri aliran Sabandar adalah mahir dalam mengalirkan
tenaga, yang dalam kalangan pencak silat dikenal dengan istilah
liliwatan, coplosan atau kocoran. Perkembangan aliran Cikalong pada
awalnya tidak begitu pesat. Ini disebabkan beberapa hal. Di antaranya
R.H. Ibrahim sangat selektif dalam memilih muridnya, diduga karena
adanya kekhawatiran adanya penyalahgunaan ilmu pencak silat yang
dapat membahayakan itu. Di samping itu, sebagai seorang keturunan
bangsawan yang tidak membutuhkan tambahan biaya hidup dari
murid-muridnya, dengan sendirinya ia dapat memilih-milih murid-
muridnya. Hanya mereka yang disukainya atau yang dianggap akan
menjaga nama baik keluarganya dan aliran pencak silatnya saja dapat
menjadi muridnya. Maka dapat dipahami, jika murid-muridnya
R. Muyidin
kebanyakan berasal dari kalangan bangsawan, yaitu kelompok
masyarakat dari mana R.H. Ibrahim sendiri dilahirkan. Walaupun saat ini aliran Cikalong tidak
seeksklusif pada masa awal pertumbuhan dan perkembangannya, namun pengaruh dari kondisi
sosiologis yang menjadi penunjang di masa-masa awal itu masih membekas sampai sekarang.
Walaupun di kemudian hari diramalkan pengaruh ini akan semakin menipis, sehingga masyarakat umum
akhirnya akan menjadi pemilik aliran pencak silat ini. Beberapa penerus aliran ini adalah R.H. Enoh, R.
Brata, R. Obong Ibrahim, R. Didi, R.O. Soleh, dan lain-lain. Terdorong oleh rasa tanggung jawab serta
menghindarkan terkuburnya aliran pencak silat ini karena meninggalnya atau akan meninggalnya para
tokoh atau ahli pencak silat Cikalong yang saat ini masih hidup, juga untuk melestarikan aliran pencak
silat ini, Abdur Rauf sebagai salah seorang keturunan langsung dan pimpinan Paguron Maenpo Raden
Haji Ibrahim Djaja Perbata Cikalong, membuat suatu tulisan singkat mengenai "Sedikit Perkenalan
Dengan Kaedah-kaedah Pokok Maenpo Cikalong. Aliran pencak silat (tepatnya pecahan aliran) yang
dipengaruhi aliran Cikalong antara lain adalah aliran Cikaret dan Sanalika. Sedangkan perguruan yang
mempelajari aliran ini di antaranya adalah Paguron Pusaka Cikalong (PPC) Cianjur, Paguron Pusaka
Siliwangi, dan hamper semua perguruan pencak silat di jawa barat mendapat pengaruh aliran ini.


R. Abad Moh. Sirod yang mendapat ilmu dari R. Busrin mengembangkan metode belajar pencak silat
dengan menyusun 30 jurus dasar yang dikenal dengan istilah 27 jurus kajadian dan 3 jurus maksud.
Jurus-jurus ini diambil dari kejadian maenpo (istilah lain untuk beladiri pencak silat). Penjelesan seleng-
kapnya disusun dalam buku yang berjudul Tuduh Kaedah Meanpo (Petunjuk Kaidah Pencak Silat).
R. Obing yang belajar dari R.H. Ibrahim dan R. H. Enoh mengembangkan 5 jurus dasar yang
menggunakan langkah dengan arah menyerong, mempelajari cara menyimpan dan memindahkan titik
berat badan, serta menggabungkan gerak dengan teknik pernapasan. R.O. Saleh (Gan Uweh) yang
belajar dari R. Idrus dan R. Muhyidin mengembangkan 10 jurus dasar, 3 pancar, jurus 7, dan
masagikeun (kombinasi). Perguruan yang didirikannya adalah Paguron Pusaka Cikalong (PPC).
R. Ateng Karta yang berasal dari Banyuresmi, Garut belajar dari R. Utuk mengembangkan 5 jurus dasar
beserta beberapa pecahannya. Perguruan yang didirikannya adalah Perguruan Pencak Silat Sanalika.
Dari beberapa contoh di atas dapat dilihat bahwa aliran pencak silat Cikalong berkembang dari generasi
ke generasi berikutnya. Ada yang mengembangkannya di perguruan yang didirikannya dan ada pula
yang tidak malalui perguruan (Individu). (GR)


SUMBER
Majalah Seni Beladiri
JURUS No. 01
Tahun I – 21 Juni -
04 Juli 1999


Napak Tilas Maenpo Cianjur 2

oleh: Kiki Rizki Noviandi
MAKAM HJ IBRAHIM Rombongan tour pun naik bis lagi dan kali ini mendapat kawalan (dipimpin) oleh mobil LLAJR yang terus menemani selama sehari itu. Tidak hanya itu, seorang pemandu pun ditempatkan di bis peserta, yang dengan setia menjelaskan tentang Cianjur dan juga maen po-nya. Disebutkan bahwa wilayah pembangunan Kabupaten Cianjur secara geografis terbagi dalam 3 (tiga) Wilayah Pengembangan yaitu Wilayah Pengembangan Utara (WPU), Wilayah Pengembangan Tengah (WPT) dan Wilayah Pengembangan Selatan (WPS) dengan jumlah kecamatan sebanyak 24 kecamatan dan terdiri dari 341 Desa dan 6 Kelurahan di wilayah kota Cianjur. Masing-masing wilayah mempunyai ciri-ciri khusus baik dari segi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya. Sumberdaya alam dapat dibedakan berdasarkan topografi, jenis tanah, iklim, jenis penggunaan tanah dan lain-lain. 1. Wilayah Pengembangan Utara, merupakan dataran tinggi yang terletak di kaki Gunung Gede yang sebagian besar merupakan daerah dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan dataran yang dipergunakan untuk areal perkebunan dan persawahan. Kecamatan yang termasuk wilayah ini adalah Kecamatan Cibeber, Bojongpicung, Ciranjang, Karangtengah, Cianjur, Warungkondang, Cugenang, Pacet, Mande, Cikalongkulon, Sukaluyu, Cilaku dan Sukaresmi. 2. Wilayah Pengembangan Tengah, merupakan daerah yang berbukit-bukit kecil dengan keadaan struktur tanahnya labil sehingga sering terjadi tanah longsor, dataran lainnya terdiri areal ini adalah Kecamatan Tanggeung, Pagelaran, Kadupandak, Takokak, Sukanegara, Campaka dan Campaka Mulya. 3. Wilayah Pengembangan Selatan, merupakan dataran rendah akan tetapi terdapat bukit-bukit kecil yang diselingi oleh pegunungan yang melebar sampai ke daerah pantai Samudra Indonesia. Seperti halnya daerah Cianjur bagian tengah, bagian selatanpun tanahnya labil dan sering terjadi longsor, disini terdapat pula areal perkebunan dan pesawahan tetapi tidak begitu luas. Kecamatan yang termasuk wilayah ini adalah Kecamatan Agrabinta, Sindangbarang, Cidaun, Naringgul, Cibinong dan Cikadu. Dan masih banyak informasi berharga lain yang diberikan. Iring-iringan 4 mobil (termasuk bis), berjajar menuju ke Makam Rd Ibrahim, pendiri aliran Cikalong. Setelah keluar dari jalan utama Cianjur, masuk ke jalan Jonggol, pemandangan sawah terhampr luas, menghijau menyegarkan mata demi mata yang kesehariannya dipenati oleh suasana ibukota. Berjalan sekitar 4 kilo, jalan mulai mendaki dan berbukit dengan pemandangan yang indah di bawahnya. Tidak lama kemudian rombongan mulai memasuki kecamatan Cikalong Kulon, tempat makam berada. Akhirnya setelah melalui jalan kecil-yang oleh peserta disebut; daerah yang belum merdeka he he-bis pun parkir di kaki bukit, tempat makam berada. Namun kejutan belum usai. Rombongan digiring berlawanan arah dari makam dan menuju ke kantor camat Cijagang , ada semacam sambutan, katanya. Ini memang di luar skenario, tapi peserta pun tidak keberatan, toh waktu yang dimiliki pun cukup banyak. Ternyata banyak warga masyarakat termasuk camat-nya sendiri yang sudah menanti dengan diiringi musik ibing yang keras dan mengundang untuk ber-joget penca. Pak.. dung.. plak.. dung dung.....Setelah ramah tamah, Camat Cijagang menyambut dan kemudian disampaikan juga sedikit ulasan dan sejarah maenpo cikalong kulon oleh salah seorang sesepuh. Di kecamatan Cikalong Kulon yang demikian kecil itu terdapat 28 paguron (perguruan) maen po dan yang masih terus aktif hingga saat ini tercatat 10 paguron maen po. Kemudian Penutur ini (maaf namanya lupa) mengisahkan sejarah dan legenda seputar Hj Ibrahim, termasuk pertarungan beliau dengan harimau. Yang dikomentari oleh Hj Ibrahim sendiri " baru kali ini saya bertarung hidup dan mati". Cerita dan legenda-legenda tersebut tetap hidup di masyarakat dan menjadi semacam semangat untuk terus mendalami dan melestarikan maen po Cikalong Kulon. Acara kemudian beralih pada atraksi silat dan ibingan..ini yang ditunggu-tunggu peserta. Dengan iringan musik gendang pencak (tepak 2 ) yang bertalu-talu, tampillah gadis cilik yang dengan lincah membawakan ibingan gaya Cikalong Kulon. Dikuti oleh sekelompok anak-anak dari paguron (perguruan) yang berbeda, dan juga gadis cilik yang memainkan golok ganda, mengundang decak kagum dari para peserta wisata silat. Tampilan demi tampilan baik berkelompok maupun tunggal disodorkan di panggung, membuat peserta seperti terpesona dan tidak mau beranjak dari tempat duduknya. Tidak ketinggalan Bp Pak Camat sendiri pun turun, untuk menampilkan ibingan sebagai penghormatan kepada peserta wisata silat. dahsyat, seorang peserta berkomentar,"Bukan main mulai dari Bupatinya, Camat Cikalong Kulon hingga tukang penjual roti pada bisa maen po!"... Sebagai balasan, Pak Bambang dari Cingkrik Goning, menampilkan satu dua jurusnya beserta aplikasinya untuk menghibur semuanya. Setelah Bang Nizam, sesepuh forum-pun, Bang Iwan, diajak tampil oleh Pak Bambang yang diiringi oleh tepuk tangan meriah...plok plok plok....Beberapa atraksi masih ditampilkan dan acara kemudian diakhiri; pesertapun bertolak menuju ke Makam Rd Ibrahim. Sejatinya Makam tersebut juga merupakan peristirahatan leluhur Rd Ibrahim yaitu Rd Aria Wira Tanu Datar, pendiri dan sesepuh kota Cianjur. Beliau masih dihormati hingga kini, terbukti ketika itu juga ada rombongan lain menggunakan bis dan mobil-mobil pribadi yang berziarah ke makam beliau. Rd Aria Wira Tanu Datar (dalam Cikundul) ini juga diyakini seorang ulama besar dan penyiar Islam yang handal. Masyarakat setempat menyebut tempat itu sebagai Makam Keramat Cikundul. Setelah melewati penjual dan pedagang kaki lima yang menyediakan berbagai makanan/barang khas Cianjur, peserta pun tiba di Mesjid di kaki Makam. Sandal pun diitipkan, dan peserta diajak untuk menghitung anak tangga menuju makam di atas bukit. Dengan semangat ‘45, peserta pun mulai mendaki tangga satu demi satu dan mulai menghitung....tiba di pertengahan tangga, banyak peserta yang mulai mengatur napas, semakin tinggi, satu-dua mulai istirahat.. dan akhirnya tiba di Makam yang dibentuk seperti bangunan mesjid; dengan napas memburu dan ngos-ngosan. Mungkin terlalu banyak menggunakan ‘pernapasan kretek' he he he... Hasil hitungan juga tidak sama: ada yang mengatakan tangga tersebut berjumlah 179, ada yang bilang 210, 198, 205 dan ada yang berkata" Saya sibuk menghitung dan mengatur napas sendiri", he he he..jadi gak sempet untuk menghitung anak tangga.. Istirahat sejenak di pelataran bangunan makam, sambil menikmati angin semilir yang mengobati lelah naik tangga; sembari melayangkan mata pada pemandangan indah di bawah bukit. Peserta kemudian menuju ke Makam Rd Ibrahim yang terletak di samping, agak belakang, dari Makam Rd Dalem Cikundul. Doa pun dialunkan bagi pendiri maenpo Cikalong ini, diikuti oleh doa-doa pribadi yang dipanjatkan oleh masing-masing peserta Wisata Silat. (Photo makam Rd Ibrahim: perhatikan makamnya yang demikian kecil dan panjangnya tidak lebih dari setengah meter; ada yang berpikir ‘mengapa demikian pendek makam ini?'...juga ada pesan sponsor yang mengganjal pemandangan) Usai berziarah rombongan pun turun menyusuri tangga demi tangga dan kali ini disambut oleh barisan peminta rejeki yang berada di luar pagar, namun memiliki ‘tangan yang panjang' yaitu kayu/bambu yang ujungnya diikat dengan potongan botol aqua, sebagai tempat untuk memberi sedekah. Maka bersedekahlah jika mungkin. Cara ini dipakai mungkin dikarenakan tidak boleh berada di dalam area makam. Tiba di mesjid bawah, peserta pun sholat, istirahat sejenak lalu kembali ke bis untuk ke goa Cilebut tempat khalwat (meditasi dan merenung) Rd Ibrahim sebelum membentuk maen po Cikalong.
GOA JELEBUD
Iring-iringan bisa dan mobil-mobil pribadi dengan didahului oleh mobil LLAJR melaju, menuju ke pusat kota kecil Cikalong Kulon dan berhenti di depan kantor camat Cikalong Kulon, di sebrang alun-alun kota. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki dari samping kantor camat, melewati perkampungan penduduk yang rapat dan banyak memiliki empang-empang, tempat memelihara ikan ato sumber mata air dan juga ada yang berfungsi sebagai tempat pembuangan limbah rumah tangga. Jalan setapak kemudian berujung di sebuah daerah menurun yang sebelah kanannya ada empang besar dan sebalah kirinya demikian; dan di depan empang kiri ada tanah terjal; di sinilah goa Cilebut berada. Namun sayang keadaanya sudah berubah, sejak team survey 2 bulan lalu mengunjungi tempat ini. Di sekeliling goa sudah dipagari oleh tembok semen yang masih terlihat baru; sehingga goa sama sekali tertutup dan tidak terlihat dari luar. Belum lagi tepat di tengah-tengah pintu masuk goa, ada semacam tugu yang dipasang oleh paguron silat tertentu. Hal yang sama juga terlihat pada makam RD Ibrahim, ada pesan ‘sponsor' paguron yang sama. Belum jelas apa motif pemasangan ini. Namun peserta wisata sungguh menyayangkan kondisi ini. Sebagai aset bersama masyarakat Cianjur selayaknya tempat-tempat bersejarah dan juga dikeramatkan oleh penduduk setempat, selayaknya mendapat perhatian dari Pemkab agar ha-hal demikian dapat dihindari dan kelestarian situs dan makam tersebut lebih terjamin. Seorang peserta berkomentar: "kalo semua paguron Cikalong minta didirikan prasati di depan goa itu, sebagai tanda memiliki, maka apa jadinya tempat tersebut, pasti tertutup habis; mengingat, di Cikalong Kulon saja ada 28 paguron aliran Cikalong". Peserta lain berpendapat "Tempat tersebut bukan milik suatu paguron tertentu tapi milik aliran cikalong, milik bersama dan tidak bisa diklaim oleh salah satu paguron saja. Maka Pemkab adalah pihak yang paling tepat untuk menertibkdan mengelola tempat tersebut sekaligus menghindarkan perseteruan antar paguron". Sebuah pendapat yang kebanyakan diamini oleh seluruh peserta Wisata Silat. Opini tersebut lahir dari suatu rasa keprihatinan dan kecintaan pada maen po Cikalong dan kelestarian tempat bersejarah yang berkaitan dengannya. Usai menengok goa Cilebut , yang sedang ada pemotongan pohon kelapa dengan mesin di dekatnya, sehingga suasana agak bising, peserta kembali lagi ke bis dan bertolak menuju ke Waduk Cirata, berplesir. Waduk Cirata Waduk Cirata merupakan waduk buatan yang dibangun di daerah aliran sungai Citarum. Luas waduk ini mencapai 6.200 ha. Dan kesanalah rombongan wisata silat pergi untuk makan siang dan menikmati panorama alamnya. Rombongan berhenti di sebuah rumah makan dan bersantap siang dengan ikan air tawar goreng/bakar lengkap dengan lalapan khas Sunda serta sambal. Terasa mengenyangkan perut di hari yang siang dan lapar itu. Seusai mengisi ‘kampung tengah', peserta pun berarak ke tepi waduk Cirata. Sebagian lalu berperahu mengelilingi waduk, di bawah matahari yang bersahabat yang dengan cahaya-nya yang manja memantulkan kelip keemasan pada permukaan air waduk. Kerambah apung untuk pengkaran ikan penduduk setempat terlihat pada ujung waduk. Disini dipelihara berbagai ikan air tawar mulai dari nila, ikan mas, mujaer dan lain lain.. Puas berperahu dan berkeliling waduk peserta pun kembali ke bis untuk ke Cianjur kota. Jam sudah menujukkan pukul 5 lebih, dengan mengingat bahwa pukul 7-an ada acara di Dewan Kesenian cianjur (DKC). Tiba di KONI pukul 6-an dan bersiap-siap, plus makan malam dan langung berangkat ke DKC (Bersambung...)
Team Liputan Silatindonesia By : Ian Samsudin Sumber: www.silatindonesia.com

Napak Tilas Maenpo Cianjur

oleh: Kiki Rizki Noviandi
silatindonesia.com - Juma'at malam, kalender menujukkan tanggal 11 Mei 2007, berkumpullah para pendekar, pencinta, pemerhati dan sahabat silat tradisionil di Padepokan Pencak Silat (TMII) Jakarta untuk melakukan sesuatu yang agak lain dalam upaya pelestarian pencak silat tradisional yaitu berwisata silat ke Cianjur. Wisata silat? Ya wisata silat...! Mengapa tidak? Bukankah pencak silat merupakan budaya bangsa yang tetaplah sebuah produk budaya yang dapat dinikmati keindahannya, dikagumi kedalaman isi filosofi, dan dikenal-mendalam untuk semakin dicintai pada konteks budaya masyarakatnya. Maka sengaja, Forum Pencinta dan Pelestari Pencak Silat Tradisional (FP2ST) mengorganisir cara baru mengenalkan dan melestarikan Pencak Silat khususnya silat tradisi pada kaum muda yaitu dengan ber-wisata silat. Sebuah metode yang diinspirasikan dari pengalaman Cina dan Thailand dalam hal budaya beladiri dan pariwisata dan kelestarian budaya mereka. Meski dengan fokus pada maenpo Cianjur, wisata silat juga akan menikmati keramahan masyarakat cianjur, keindahan alamnya dan lezatnya makanan (wisata kuliner) khas Cianjur...! Sejak pukul 19:00 peserta mulai berdatangan dan langsung menyantap makan malam berupa nasi Padang bungkus. Yang muda, yang tua, yang pendekar, yang praktisi, yang hobi, yang pengamat, yang pemerhati silat, semua berbaur, bergaul dan bersilahturahmi. Serta tidak ketinggalan para sesepuh perguruan dan aliran juga hadir; seakan tidak mau kalah dengan kaum muda dan dengan demikian tetap menunjukkan ‘jiwa muda' yang selalu peduli dengan kelestarian pencak silat tradisional. Mereka adalah Babe Ali Sabeni yang adalah anak dari Babe Sabeni, Sang pendiri aliran Sabeni dari Tanah Abang, Jakarta Pusat; hadir juga Bang Idjul, anak dari Babe Ali dan Cucu dari Babe Sabeni; Turut juga Kong Salim, sesepuh dari silat Paseban Lama; Pak Tubagus Bambang, pewaris dan pengembang Cingkrik Goning, Pak Bambang Sarkoro, sesepuh dari perguruan Margaluyu; Babe Nani, sesepuh dari Gerak Saka, dan Sensei Hakim (Aiki-kenyukai), seorang pemerhati silat dari Aikido. Tentu juga diikuti oleh banyak kaum muda dari milis silat indonesia, kaukus.com, komunitas pencinta alam, bulletin/majalah kesehatan senior (grup Kompas), wartawan dari koran Tempo, Trans TV, BBC London, dan wartawan setempat (yang hadir ketika acara workshop); dan para pemerhati dan pencinta pencak silat tradisional..! Setelah dibuka dengan doa oleh Pak Bambang, bis ‘Big Bird'dengan fasilitas AC dan TV ini melaju dengan mulus dari TMII sekitar pukul 21.15 dan tiba di Cianjur pukul 23.15, tepat dua jam dengan kondisi lalu lintas yang lancar. Sepanjang perjalanan, rombongan tampak bersemangat dan antusias, berkumpul berbagi pikiran dan bersilaturahmi antar peserta; hingga tawa terdengar sepanjang perjalanan, semangat kekeluargaan menyeruak dan siap menyongsong tanah maenpo cikalong, cikaret dan sabandar (plus cimande buhun); inilah ranah Cianjur. Malam semakin menjelang menyambut rombongan ketika tiba di Gedung KONI, tempat para peserta akan menginap selama wisata silat ini.. Turun dari bis, udara dingin dan sejuk menyambut para peserta yang terbiasa dengan udara Jakarta; begitu menyegarkan dan mengenakkan perasaan. Peserta digelandang masuk ke gedung KONI, tempat sederhana -‘hotel' atlit-yang akan diinapi selama acara Wisata silat ini. Setelah mendapat briefing singkat dari Koodinator Forum, Mas Eko Hadi, pesertapun menikmati makanan kecil : pisang, kacang rebus, ubi kecil dan unik dan minuman jahe (sejenis bandrek) yang menghangatkan badan. Sebagian peserta yang kelelahan langsung istirahat dan sebagian yang belum puas dan termasuk dalam kategori terkena ‘virus gila silat' tetap berdiskusi dan bertukar ilmu hingga subuh....wwuuiihhh... Jreng...Cianjur, euiy!12 Mei 2007, Cianjur, sebuah kota kabupaten di provinsi Jawa-Barat, dengan jarak sekitar 65 km dari Bandung, ibukota Jawa-Barata dan 120 km dari Jakarta, dengan jarak tempuh sekitar 2,5-3 jam dalam kondisi lancar. Cianjur terletak diantara 6 derajat 21 detik - 7derajat 25 detik LU dan 106 derajat 42 detik BT-107 derjat 25 detik BT. Karena berada pada ketinggian sekitar 2.300 dpl dan berada di kaki Gunung Gede, maka kota kecil ini berhawa sejuk dan segar. Dengan jumlah penduduk sekitar 2 juta jiwa ( tepatnya 2.058.134 per tahun 2004 menurut data yang diberikan oleh Pemkab Cianjur dalam situs resminya http://www.canjur.go.id/ ), Cianjur menjadi kota yang dinamis dan terus berkembang. Matahari belum nampak pagi itu, dingin belum juga hilang, Sabtu, 12 Mei 2007, terlihat sekelompok orang sedang senam pagi di halaman Gedung KONI, Cianjur. Halaman yang dilapisi kon-blok itu, pada satu sisinya dipasang tenda untuk kegiatan ormas setempat itu; disanalah para peserta Wisata Silat mengerakkan badan, kendati sebagian peserta belum tidur -karena asyik berdiskusi hingga fajar--; suasana tetap riang; di bawah komando Pak Bambang yang memberikan senam sehat ala Margaluyu, disusul kemudian sedikit perkenalan gaya senam-nya Sabandar oleh pendekar Kisawung dan sebagai bonus yang unik, senam ala Thailand (apa ya namanya?:)) oleh pendekar O'ong Maryono... Seusai senam pagi, peserta mandi pagi dan makan pagi yang disiapkan oleh saudara kita dari Cikolong Pancer Bumi, khususnya keluarga Pak Haji Aziz dan Aceng beserta murid-muridnya. Salut untuk mereka yang selama tiga hari dan 2 malam Wisata ini bekerja keras dalam hal yang sangat vital ini yaitu konsumsi. Dengan rapi, semua peserta berbondong-bondong naik bis menuju ke Kantor Bupati Cianjur. Sungguh mengejutkan, betapa Pemda Cianjur menganggap serius dan memberikan perhatian yang sungguh-sungguh bagi acara wisata silat ini. Bupati sendiri yang menyambut dan menerima peserta Wisata Silat. Sambutan Bupati CianjurDalam sambutannya Bupati Cianjur, Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, mengucapkan selamat datang dan mengenalkan Cianjur dengan motto-nya : ngaos, mamaos dan maenpo. Ngaos adalah tradisi mengaji sebagai salah satu pencerminan kegiatan kerohanian dan spirtualitas. Mamaos adalah pencerminan kehidupan budaya daerah di mana seni mamaos Tembang Sunda Cianjuran berbibit buit ( berasal ) dari tatar Cianjur. Sedangkan maenpo adalah seni beladiri tempo dulu asli Cianjur yang sekarang lebih dikenal dengan seni beladiri Pencak Silat. Bahkan pendapo Cianjur pun diadikan ajang bagi ketiga kegiatan tersebut. Secara Resmi Bupati kemudian melepas rombongan untuk ber-wisata silat diiringi dengan tepuk tangan yang meriah dari hadirin. Dari Forum, yang diwakili Mas Eko, menyatakan rasa syukur dan terima kasih yang mendalam atas sambutan yang demikian besar dan penuh dengan kekeluargaan; sebagai rasa terima kasih Forum pun memberikan sedikit tanda mata berupa Kujang kepada Bp Bupati. (menarik juga membandingkan pakaian resmi semua pejabat pemda dan peserta wisata silat yang terkesan santai dan kasual ). Sayang sekali karena kesibukan Bupati, acara pun diakhiri dengan photo bersama di depan Kantor Bupati. (bersambung...)Jakarta, 15 Mei 2007 Team Liputan Silatindonesia By : Ian Samsudin

Rd. Obing Ibrahim Tokoh Maen Po dari Kaum

oleh: Kiki Rizki Noviandi
Seperti kita ketahui aliran Cikalong yang kita kenal sekarang merupakan hasil karya yang sangat adiluhung, yang merupakan sebuah kreasi dari tokoh tokoh jenius yang sangat mendalami dan memahami maenpo sebagai salah satu budaya dan keahlian dalam melakukan beladiri.
Dari semua penerus aliran cikalong, paling tidak ada 4 tokoh yang sangat berpengaruh pada perkembangan aliran ini, tokoh-tokoh itu adalah:
1. Rd. Abad, yang mengembangkan jurus 30 dengan 27 jurus kajadian dan 3 jurus maksud
2. Rd. U. Soleh (Gan Uweh), yang mengembangkan 10 jurus, 3 pancer dan jurus 7 serta masagikeun
3. Rd. Didi (Gan Didi), yang mengembangkan 13 jurus dengan beberapa pola langkah
4. Rd. Obing Ibrahim (Gan Obing), yang mengembangkan 5 adegan serong/jalan serong
Meski pada kenyataannya masing - masing tokoh penerus ini bersumberkan pada aliran Cikalong, tetapi pada kenyataannya tidak ada satu pun yang bisa dianggap sebagai bentuk paling asli dari Cikalong. Karena pada kenyataannya aliran Cikalong sendiri sudah dipengaruhi dengan aliran yang dikembangkan di Cianjur khususnya aliran sabandar. Sehingga kita mengenal istilah kari (tenaga kari-untuk menyerang), madi (tenaga Bendung) yang merupakan ilmu yang bisa jadi didapat oleh H. Ibrahim ketika belajar pada kedua tokoh ini di betawi yang menyusun sistem Cikalong sebelumnya. Dan yang terbaru adalah sabandar (mengalirkan tenaga lawan) yang pada saat itu merupakan aliran yang juga berkembang di Cianjur.
Pengaruh sabandar pada Cikalong tidak bisa di pungkiri lagi, meski mungkin di beberapa aliran Cikalong hanya berbentuk pengendalian tenaga yang lebih dikenal tenaga sabandar tetapi prinsip sabandar sudah juga berasimilasi dengan Cikalong.
Masuknya pengaruh sabandar di Cikalong sepertinya dimulai dengan belajarnya murid generasi pertama Cikalong ke mama kosim (sang maestro sabandar). Salah satu tokoh Cikalong yang belajar juga pada Mama kosim adalah Rd. Enoh.
Langkah Rd. Enoh ini diikuti pula oleh muridnya yaitu Rd. Obing, yang kala itu sedang menimba ilmu Cikalong kepada Rd. Enoh. Sempat dikisahkan ketika Rd. Obing sedang berlatih dengan Rd. Enoh, Rd. H. Ibrahim sempat mengamati dan melihat bakat yang dimiliki oleh Rd. Obing ini. Sehingga pada akhir latihan disampaikan oleh Rd. Ibrahim kepada Rd. Enoh bahwa setelah selesai berlatih pada Rd. Enoh, Rd. Obing diminta melanjutkan pelajaran silatnya pada Rd. H. Ibrahim sang maestro Cikalong. Dan mulailah Rd Obing belajar Cikalong langsung pada Rd. H. Ibrahim
Selain mendalami Cikalong, Rd. Obing juga mendalami maenpo sabandar yang menurut beberapa kisah, Rd. Obing belajar dari gurunya (Rd. Enoh) dan kemudian di lanjutkan belajar langsung pada Mama Kosim di sabandar. Namun ada juga kisah yang menceritakan bahwa Rd. Obing hanya belajar sabandar pada Rd. Enoh dan tidak belajar langsung pada Mama Kosim (waallohualam bisawab)
Ternyata kecerdasan dan kejeniusan Rd. Obing menyebabkan beliau sangat disayangi oleh para guru-gurunya, kemampuan untuk mendalami dan menggabungkan prinsip-prinsip dari Cikalong dan sabandar membuat para gurunya kagum, sehingga saking sayangnya Rd. H. Ibrahim memberikan nama Ibrahim dibelakang nama Rd. Obing sehingga namanya menjadi Rd. Obing Ibrahim. Nama Ibrahim adalah nama pemberian dari Guru sebagai rasa sayang kepada murid.
Perkembangan maenpo di Cianjur memiliki pusat pusat pengembangan yang letaknya tidak terlalu jauh. Bojong herang merupakan pusat dari pengembangan murid-murid Sabandar, sedangkan Pasar Baru merupakan pusat pengembangan Cikalong. Diantara kedua pusat ini adalah kaum, disinilah para tokoh maenpo cianjur mempelajari kedua aliran ini baik cikalong maupun sabandar, dan tokoh dari kaum ini adalah Rd. Obing Ibrahim.
Keahlian Rd. Obing Ibrahim dalam bersilat sangat diakui kala itu, sehingga banyak tokoh Cikalong yang menimba ilmu padanya. Beberapa tokoh maen po Cikalong yang sempat belajar pada Rd. Obing adalah:
1. Rd. Didi (gan Didi)
2. Rd. Utuk (gan Utuk)
3. Rd. Idrus (gan Idrus)
4. Rd. Nunung Ahmad Dasuki (gan Nunung)
5. Rd. Memed (gan Memed)
6. Rd. Popo Sumadipraya (gan Popo)
Rd. Obing Ibrahim terakhir menjabat sebagai Naib (penghulu) Cianjur, beliau wafat di Cianjur tanggal 1 Juni 1942 dan dimakamkan di suka negara, Kecamatan Tanggeung Cianjur.

Silat Tradisional sebagai ilmu beladiri yang murni

Silat sejak lama memiliki ke khas dalam teknik beladiri, olahraga ini memang tidak hanya menampilkan jurus beladiri namun juga kaidah berupa gerakan dan teknik. hingga prasangka orang awam maupun praktisi beladiri lain yang mengenal pencak silat hanya dari kulitnya saja akan menilai pencak silat sebagai olahan gerak yang bertele-tele. hingga seorang praktisi beladiri dari mancanegara (luar negeri) yang biasa mendalami beladiri kareta, menilai bahwa silat tidak ubahnya seperti tarian yang tidak efektif sebagai beladiri. hal ini menunjukkan kurang pahamnya mereka terhadap beladiri silat, dan penilaian lainnya adalah bahwa silat lebih bagus ditonton sebagai beladiri hiburan yang mampu dipragakan di atas panggung dimana pesilat tersebut sudah hapal dengan teknik yang dipragakannya. dan memang jurus pencak nan indah bagi mata orang awam gerak tersebut layaknya sebuah tarian yang lincah, indah dan tidak nampak pukulan yang keras seperti beladiri pada umunya yang menampakkan kekuatan fisik semata. Namun jangan salah sangka gerak tarian tersebut adalah rangkain sebuah jurus yang dipertontonkan kepada masyarakat agar lebih mengenal kembali pencak silat yang sempat terlupakan oleh kita semua, tentunya itulah silat tradisional yang akhir-akhir ini kembali dihidupkan melalui ragam festival yang berlangsung beberapa waktu lalu. Ada pertanyaan yang perlu dijawab, apakah silat tradional mampu menjadi beladiri yang ampuh?, bila diteliti lebih dalam maka kita bisa menjawab bahwa silat tradisional bukanlah hanya sebuah tarian pencak yang dipertontonkan sebagai hiburan tapi terbukti bahwa silat tradisional mampu sebagai beladiri yang sesungguhnya. Bila sempat terbenam dari gemerlapnya beladiri Import, silat tradisional memiliki mainan gerak beladiri yang ampuh, serangan maupun pertahanan sebagai teknik beladiri ternyata dapat mampu melumpuhkan lawan dengan hanya beberapa gerakan saja. Sayangnya silat tradisional tidak mampu membuktikan keperkasaannya dalam kancah olahraga beladiri prestasinya IPSI karena pada umumnya silat tradisional memang lebih mantap dalam pertarungan bebas, dan sayangnya dipertarungan bebaspun belum banyak pesilat yang mau menunjukkan bahwa silatpun ternyata adalah Ilmu beladiri yang ampuh. Ragamnya aliran pencak silat di Nusantara membawa kekayaan tersendiri dalam pencak silat, sehingga IPSI yang merupakan lembaga atau organisasi resmi yang mewadahi perguruan ataupun perkumpulan pencak silat di Indonesia membagi pencak silat menjadi 4 bagian yang tidak bisa dipisangkan. 4 bagian tersebut antara lain, Olahraga, Beladiri, Seni, Mental dan Spritual. 4 bagian ini biasa dikenal menjadi aspek atau kandungan pencak silat yang telah dirumuskan dengan penelitian yang mendalam, untuk menjadikan silat sebagai salah satu cabang beladiri IPSI melalukan rumusan olahraga prestasi dalam bentuk pertandingan, dengan aturan dan keamanan yang menjamin Atlit dari cidera. Tidak ketinggalan dengan Silat dalam seni, yang sejak lama menjadi ciri khas yang tidak bisa dipisahkan, selain mengandung unsur kesenian yang bercitra rasa tinggi menyebabkan silat membawa misi yang unik selain pestasi namun juga filosofi yang tidak bisa dipasahkan dari pencak silat itu sendiri. Lalu bagaimana dengan beladiri dalam pencak silat, yang nyatanya unsure beladiri sedikit terlupakan atau memang tidak menjadi pembinaan khusus menyebabkan pencak silat kehilangan imege sebagai beladiri yang murni dan bahkan seolah-olah di kebiri dengan antusiasnya pesilat maupun perguruan yang berorientasi prestasi menyebabkan unsur beladiri yang ada dalam pencak silat menjadi sedikit hilang. Kalau pun demikian silat tradisional yang banyak orang sangka lebih memfokuskan pada seni yang nyatanya silat tradisional malah lebih menyimpan dan menjaga kemurnian pencak silat dalam kegiatan dalam latihannya. dan ini bisa kita lihat dari beberapa aliran silat tradisional yang telah di coba digali kembali kandungannya. Penyebutan silat tradisional lebih memfokuskan pada perkembagan dan organisasinya, karena hampir dipastikan seluruh silat itu adalah tradisional hanya saja perbedaan pengelolaan yang baik menjadikan silat tersebut lebih modern dan berkembang dengan pesat dan silat yang hadir dalam organisasi keluarga inilah yang kadang disebut sebagai silat tradisional yang kurikulumnya pun terkadang belum ada hingga cara pengajarannya pun masih sangat terbatas. Tinggal saatnya bagaimana melestarikan dan membuktikan bahwa silat tradisionalpun mampu berperan sebagai pelopor beladiri yang dapat di%@!#$& karena memang memiliki kekhasan dalam tekniknya. Tentunya silat tradisionalpun adalah asset bangsa yang harus dijaga oleh kaum muda, dan kapan kita bisa menjaganya?. Oleh : Prabowo Pengamat Lipi - Serpong www.silatindonesia.com